Peluang di Tengah Kontroversi: Membaca PIK 2 sebagai Kota Mandiri Baru dari Perspektif Akademik dan Pengembangan Wilayah -->
PASANG IKLAN

Peluang di Tengah Kontroversi: Membaca PIK 2 sebagai Kota Mandiri Baru dari Perspektif Akademik dan Pengembangan Wilayah

Rabu, 19 November 2025


Penulis: Ma’shum Jamil, SE, SH, MM.
Dosen dan Peneliti, Pemerhati Sosial UNIVERSITAS INSAN PEMBANGUNAN INDONESIA (UNIPI) TANGERANG

Polemik tentang perkembangan dan  ekspansi kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 tampaknya tidak pernah benar-benar mereda. Sejak tahap awal perencanaan hingga kini, diskursus publik terus terbelah antara kelompok yang menilai PIK 2 sebagai ancaman ekologis dan sosial, serta mereka yang melihatnya sebagai mesin pertumbuhan ekonomi baru di Tangerang Utara. Perdebatan panjang ini bahkan telah menjadi semacam “narasi tak berujung”, yang terus muncul dalam ruang publik tanpa pernah mencapai kesepakatan final.

Dalam konteks pembangunan wilayah, polarisasi yang berkepanjangan semacam ini sering kali membuat masyarakat hanya berkutat pada dua pilihan ekstrem: menerima sepenuhnya atau menolak sepenuhnya. Padahal, di luar pro-kontra yang menguras energi, terdapat realitas objektif bahwa PIK 2 telah berkembang menjadi struktur ruang baru yang tidak mungkin diabaikan. Oleh karena itu, yang lebih penting bukan hanya mempertanyakan keberadaannya, tetapi membaca peluang, memaknai perubahan, dan menjemput manfaat dari keberadaan kota mandiri tersebut.

PIK 2 sebagai Fenomena Urbanisasi Baru
Data pembangunan menunjukkan bahwa PIK 2 tidak sekadar proyek hunian berskala besar, melainkan bagian dari transformasi urbanisasi modern. Kawasan ini ditargetkan mencakup lebih dari 7.000 hektare, menjadikannya salah satu megaproyek kota mandiri terbesar di Indonesia. Total investasi yang masuk diperkirakan telah melampaui Rp 60 triliun, dengan proyeksi pertumbuhan nilai properti mencapai 20% per tahun pada beberapa segmen.

Secara demografis, kawasan pesisir Tangerang Utara mengalami lonjakan populasi sebesar 3,4% per tahun, jauh di atas rata-rata pertumbuhan penduduk Banten yang berkisar 2,1%. Aksesibilitas baru melalui tol, jembatan penghubung, dan koridor komersial membuat kawasan ini berubah menjadi pusat aktivitas ekonomi baru. 

Tingkat kunjungan wisata ke kawasan pantai dan area komersial PIK 2 pada akhir pekan diperkirakan mencapai 35.000–50.000 orang per hari—suatu angka yang cukup signifikan untuk menciptakan dinamika ekonomi lokal. (“Berdasarkan pernyataan pengelola Aloha Pasir Putih, trafik pengunjung bisa mencapai ~20.000 orang per hari di akhir pekan, sehingga jika diproyeksikan ke seluruh kawasan PIK 2, estimasi pengunjung akhir pekan bisa berada di angka puluhan ribu, meski data resmi menyeluruh belum dipublikasikan.”)
Dengan karakteristik tersebut, PIK 2 dapat dikategorikan sebagai bagian dari fenomena peri-urbanization—perluasan kota besar ke wilayah tepi yang kemudian menjadi simpul ekonomi baru.

Analisis Peluang Melalui Teori Akademik
Untuk memahami secara lebih komprehensif peluang yang muncul, beberapa perspektif teoritis dapat digunakan.yakni:

1. Teori Kutub Pertumbuhan (François Perroux)
PIK 2 berfungsi sebagai growth pole, yaitu pusat pertumbuhan yang memunculkan dampak sebar (spread effect) dan daya serap (backwash effect).
Spread effect dapat berupa:
- tumbuhnya UMKM kuliner,
- jasa transportasi,
- bisnis retail,
- peluang kerja baru.
Sedangkan backwash effect perlu diantisipasi melalui kebijakan publik, seperti naiknya harga tanah atau terpinggirkannya pelaku ekonomi lokal.

2. Opportunity Structure Theory
Peluang ekonomi tidak hadir secara merata; ia perlu diakses melalui kompetensi, jaringan, dan adaptasi. Kehadiran PIK 2 membuka ruang baru bagi:
- pelaku UMKM pesisir,
- penyedia jasa wisata,
- sektor makanan-minuman,
- ekonomi kreatif,
- layanan profesional yang beroperasi mengikuti arus mobilitas penduduk baru.

3. Teori Adaptasi Sosial (Anthony Giddens)
Masyarakat yang mampu beradaptasi terhadap struktur baru akan memperoleh manfaat, sementara mereka yang bertahan pada pola lama berpotensi tertinggal. Adaptasi ini meliputi:
pembaruan keterampilan,
pemanfaatan peluang pasar,
pemahaman dinamika ruang baru.
Dengan demikian, transformasi PIK 2 dapat dimaknai sebagai perubahan struktural yang menuntut respons aktif, bukan resistensi semata.

Perkembangan Kuantitatif yang Menggambarkan Potensi Ekonomi
Untuk memperkuat analisis, sejumlah indikator kuantitatif mencerminkan peluang yang tercipta:
Kenaikan harga lahan di beberapa titik sekitar PIK 2 mencapai 40–70% dalam empat tahun terakhir.
Pertumbuhan UMKM di Teluknaga dan Kosambi meningkat hingga 18%, seiring meningkatnya kunjungan wisata dan mobilitas pekerja.
Lalu lintas ekonomi harian diperkirakan melibatkan lebih dari 23.000 tenaga kerja yang masuk-keluar PIK 2 setiap hari.
Pertumbuhan sektor kuliner meningkat lebih dari 25% sejak dibukanya area pantai publik dan plaza komersial.
Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa PIK 2 bukan hanya berkembang secara fisik, tetapi juga menggeliat sebagai ekosistem ekonomi baru bagi wilayah pesisir.

Problem Solving: Strategi Mengarahkan Pembangunan ke Manfaat Publik
Agar masyarakat tidak sekadar menjadi penonton perubahan, diperlukan pendekatan problem solving berbasis kebijakan publik dan pemberdayaan komunitas.

1. Pemetaan Potensi dan Kompetensi Lokal
Perguruan tinggi dapat melakukan riset pemetaan UMKM, nelayan, pelaku industri rumahan, serta aset sosial yang dapat diintegrasikan dengan kebutuhan pasar PIK 2.

2. Penguatan UMKM Pesisir
Produk lokal perlu ditransformasikan menjadi komoditas bernilai tambah, seperti:
Olahan hasil laut, Kuliner Pesisir, Kerajinan Tematik Wisata, Layanan Hospitality dan Tur Lokal.

3. Pelatihan Adaptasi Ekonomi
Konsep community economic resilience dapat diterapkan untuk meningkatkan daya saing masyarakat dalam memanfaatkan peluang ekonomi baru.

4. Kemitraan Strategis antara Pengembang dan Masyarakat
Kemitraan dapat berupa:
rekrutmen tenaga kerja lokal,
pelatihan keterampilan,
dukungan CSR produktif,
pembukaan akses permodalan bagi UMKM.

5. Akademisi sebagai Mediator Pembangunan
Dosen dan peneliti memiliki posisi strategis dalam:
menjembatani dialog masyarakat–pemerintah–pengembang,
menyusun rekomendasi berbasis riset,
memantau dampak sosial,
menginterpretasikan data secara objektif bagi publik.

Penutup: Dari Perdebatan menuju Manfaat Kolektif

Kontroversi tentang PIK 2 adalah bagian dari dinamika pembangunan modern yang tidak dapat dihindari. Namun, secara akademik, pembangunan kota mandiri ini harus dipahami sebagai realitas sosial-ekonomi yang dapat dikelola, diarahkan, dan dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 

Kekhawatiran publik memang perlu dijawab, tetapi lebih penting lagi adalah memastikan bahwa peluang yang muncul tidak hanya dinikmati oleh kelompok tertentu.

Dengan strategi adaptif, penguatan kapasitas masyarakat, dan kolaborasi multipihak, PIK 2 dapat menjadi bukan sekadar simbol pertumbuhan ekonomi, tetapi sumber kesejahteraan baru bagi masyarakat Tangerang Utara dan daerah pesisir sekitarnya.

Pembangunan tidak selalu harus diperdebatkan; ia bisa diolah menjadi peluang. Dan pada titik inilah, kemampuan kita membaca arah perubahan menjadi kunci bagi masa depan wilayah.(*)